REPUBLIKA.CO.ID, MUNCHEN -- Sadio Mane memutuskan meninggalkan Liverpool dan bergabung bersama Bayern Munchen pada awal musim ini. Namun, proses adaptasi yang mesti dijalani penyerang asal Senegal di tim baru dan negara baru itu sepertinya tidak berjalan mulus.
Dari segi performa, Mane sebetulnya masih mampu memberikan kontribusi buat Die Bayern. Torehan 12 gol dan lima assist telah dipersembahkan Mane dari 34 kali merumput di semua ajang pada musim ini. Bahkan, penyerang Muslim tersebut sudah mencetak gol di laga debutnya di pentas Bundesliga.
Penyerang berusia 31 tahun itu menyumbang satu gol saat Muenchen membungkam Eintracht Frankfurt, 6-1, awal Agustus silam. Namun, cedera fibula sempat membuatnya absen di delapan laga di semua ajang, tepatnya pada periode November hingga Februari.
Pascapulih dari cedera, Mane seolah kehilangan ketajamannya. Eks penyerang Southampton itu baru mencetak satu gol dari tujuh partai di Bundesliga. Situasinya bertambah buruk buat Mane usai mendapatkan sanksi dari manajemen Die Bayern lantaran kedapatan memukul rekan setimnya, Leroy Sane.
Insiden ini terjadi saat Muenchen dibekap Manchester City, 0-3, di leg pertama babak perempat final Liga Champions, tengah bulan ini. Tidak hanya dilarang tampil di satu laga, Mane juga diwajibkan membayar denda akibat tindakannya tersebut. Ini bisa dibilang menjadi episode terburuk Mane hingga saat ini dalam musim debutnya membela Die Bayern.
Mane mengakui adanya tantangan tersendiri yang mesti dihadapinya dalam keputusan hijrah ke tim baru dan negara anyar. Tidak hanya di dalam lapangan, Mane juga ternyata menghadapi tantangan yang begitu besar di luar lapangan.
Mane menyebut adanya perlakuan buruk dari warga Jerman terhadap dirinya lantaran statusnya sebagai pemeluk agama Islam atau seorang muslim. Dalam wawancara dengan Le Monde Afrique, penyerang Timnas Senegal itu sedikit menyindiri soal kehidupan di Jerman sebagai bagian dari peradaban modern dunia barat.
Mantan penyerang Red Bull Salzburg itu bahkan tidak segan-segan mengungkapkan keinginannya hijrah dari Jerman dan merumput di negara mayoritas muslim. Dengan begitu, Mane bisa lebih bebas beribadah dan merayakan Idul Fitri bersama rekan-rekan setimnya.
''Para warga Jerman memperlakukan saya dengan buruk, karena saya seorang muslim. Apakah ini yang mereka sebut peradaban? Saya sangat berharap bisa merumput di negara muslim. Saya benar-benar merindukan Idul Fitri dengan rekan-rekan setim,'' ujar Mane kepada Le Monde Afrique seperti dilansir Tutto Notizie, beberapa waktu lalu.
Pengakuan Mane ini rasanya menjadi bagian kecil dari potret buram perlakuan masyarakat Jerman terhadap pemeluk agama Islam. Islamophobia dinilai masih tumbuh subur di salah satu negara adidaya di Benua Eropa tersebut. Ujaran kebencian, prasangka buruk, dan diskriminasi sosial masih dirasakan oleh muslim di Jerman.
Kendati Pemerintah Jerman telah menjamin kebebasan beragama dalam konstitusinya, perlakuan buruk terhadap muslim masih marak terjadi. Berdasarkan survey Badan Imigrasi dan Integrasi Jerman pada 2022, sepertiga hingga separuh dari 15 responden dari warga Jerman masih menunjukan sikap Anti-Muslim dan Anti-Islam.
Tidak hanya itu, berdasarkan laporan Deutsche Welle, hampir setiap pekan pada sepanjang 2022 terdapat laporan perusakan masjid di sejumlah tempat di Jerman. Pada Februari 2020, pria kulit putih berusia 43 tahun kedapatan mengamuk di sebuah shisa bar, yang menimbulkan korban jiwa sebanyak sembilan orang.
Kecenderungan peningkatan Islamophobia ini pun dinilai tidak terlepas dari kian meningkatnya popularitas partai sayap kanan di Jerman. ''Saat ini, Islamophobia seolah sudah menjadi hal umum di dewan perwakilan, terutama dari para anggota yang berasal dari partai sayap kanan,'' kata Sekretaris Jenderal Dewan Muslim Jerman, Abdassamad El Yazidi, seperti dilansir DW.