REPUBLIKA.CO.ID, URBINO -- Dominasi Valentino Rossi di ajang Moto GP terjadi pada awal 2000 an. Dari 2001 hingga 2005, ia menjadi juara dunia.
Lima tahun beruntun. Lalu pada 2006, Rossi yang lebih diunggulkan, finis di urutan kedua. Ia mengantongi 247 poin, tertinggal lima angka di belakang Nicky Hayden di singgasana.
Dalam konteks persaingan di lintasan, hasil ini cukup menyesakkan the Doctor. Pasalnya ia lebih banyak menjadi pemenang di beberapa seri, dibandingkan rivalnya. Namun Hayden efektif mengumpulkan poin demi poin dengan mengakhiri balapan di lima besar.
Kekalahan pada edisi 2006, mendewasakan Rossi. Pasalnya, ia belum pernah mengalami hal itu. Ia menyadari ada dimensi lain yang harus dipelajari, bukan sekadar teknis mengendarai motor.
"Saya mengambil langkah besar karena menyadari jika ingin menang lagi, saya harus mengubah banyak kebiasaan. Lebih banyak pelatihan, lebih banyak kehidupan (layaknya seorang) atlet," demikian pernyataan the Doctor, dalam sebuah wawancara yang dinarasikan di youtube @CamozIDMotor, Senin (17/7/2023).
Rossi memasuki era modern olahragawan profesional. Artinya ia tidak hanya berlatih di trek. Kemampuan membalapnya tak perlu diragukan lagi.
Tapi, ia juga perlu mengelola fisik lebih baik. Ia berlatih di gym. Fakta demikian semakin membantunya dalam menjalani profesinya.
Ada dua sosok yang menjadi saksi perubahan gaya hidup Rossi. Pertama mantan manajer Yamaha, Davide Brivio. Berikutnya, eks mekanik sang legenda, Jeremy Burgess.
"Untuk pertama kalinya, Valentino mulai berlatih dalam ruangan. Dia belum pernah melakukan sebelumnya selama bertahun-tahun di honda," ujar Burgess.
Perubahan pola pikir Rossi tidak langsung berdampak pada hasil positif di lintasan. Ia butuh adaptasi setahun untuk kembali ke jalurnya. Akhirnya pada 2008, pria Italia itu kembali merajai ajang paling bergengsi di dunia balap motor ini.