Senin 22 Jul 2019 09:39 WIB

Kapan Indonesia Dilirik Klub Elite Eropa Lagi?

Klub-klub Elite Eropa masih menyapa fan di Indonesia.

Reaksi Kepala Pelatih Juventus Maurizio Sarri dalam International Champions Cup (ICC) antara Juventus melawan Tottenham Hotspur, di National Stadium, Singapura, Ahad (21/7)
Foto: Wallace Woon/EPA
Reaksi Kepala Pelatih Juventus Maurizio Sarri dalam International Champions Cup (ICC) antara Juventus melawan Tottenham Hotspur, di National Stadium, Singapura, Ahad (21/7)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap pertengahan tahun atau menjelang awal musim baru kompetisi elite Eropa, bergulir tradisi bertamasya bagi seluruh kesebelasan top Benua Biru. Bukan hanya mencari kesenangan semata, ajang tur pramusim selain mengevaluasi kesiapan tim juga menjadi waktu yang tepat untuk sowan pada para penggemar.

Salah satu negara yang menjadi tujuan utama tur pramusim adalah Benua Asia. Beberapa negara seperti Cina, Jepang, bahkan Singapura kurun waktu lima tahun terakhir selalu disambangi oleh Manchester United (MU), Paris Saint-Germain (PSG), Chelsea, Tottenham Hotspur, Juventus, dan Inter Milan.

Manajemen klub mengetahui, Asia merupakan pangsa pasar tertinggi yang membuat mereka ingin berkunjung. Khususnya menyapa para penggemar baru sekaligus mempererat hubungan kepada fan lama.

Sayang, dalam destinasi tersebut, Indonesia kerap diasapi oleh beberapa klub besar Eropa. Padahal, Bumi Pertiwi merupakan basis penggemar sepak bola terbesar. Mudahnya bisa dilihat dari jagat maya. Bagaimana masyarakat Indonesia, khususnya penggemar sepak bola, selalu membanjiri kolom komentar tim tersebut ataupun akun pemain bintang mereka.

Menukil dari Nielsen Sport, sebesar 77 persen penduduk Indonesia memiliki ketertarikan terhadap olahraga si kulit bundar, pun termasuk dalam rasio mendukung timnas Indonesia. Tak sedikit dari pencinta klub luar juga mendirikan basis fan mereka, misalnya Milanisti Indonesia (MI), Indomanutd, Juventus Club Indo nesia (JCI), Intersiti Indonesia, dan Bayern Muenchen Indonesia.

Saat ini sedang berlangsung turnamen mini di Singapura dengan sejumlah klub elite, seperti MU, Inter Milan, dan Juventus, ikut ambil bagian. Meski nun jauh di Singapura, ternyata banyak penggemar klub tersebut yang datang dari Indonesia. Padahal, selain harga tiket pertandingan yang mahal, mereka juga harus mengeluarkan sejumlah biaya, seperti penerbangan, penginapan, serta lainnya.

Inilah nasib yang harus dialami fan sepak bola Indonesia, harus merogoh kocek lebih dalam untuk menyaksikan klub kesayangan dan tentunya para pemain idolanya. Tahun ini sendiri, tidak ada satu pun agenda dari klub elite yang memilih Indonesia sebagai tujuan mereka.

Suara-suara kekecewaan pun muncul dengan keputusan sejumlah klub untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai destinasi mereka pada tur pramusim di Asia. Hal yang diutarakan oleh penggemar sekaligus mantan Sekertaris Kabid Milanisti Indonesia (MI) Ucu Irmanto.

Indonesia memiliki banyak basis penggemar klub top Eropa. "Tentunya sangat disayangkan bila penggemar harus pergi jauh demi menyaksikan tim tercinta, apalagi beberapa fanbase di sini terhubung langsung dengan klub," ujar Ucu saat dihubungi Republika, Ahad (21/7).

Ucu menyatakan telah mengadakan negosiasi dengan pihak AC Milan untuk menggelar tur pramusim di Indonesia pada tahun lalu. Namun, karena berbagai faktor teknis, hal tersebut urung terjadi.

Kisah kurang menyenangkan dialami para fan MU ketika Iblis Merah hendak merumput di Indonesia pada 2009 silam. Saat masih ditangani pelatih Sir Alex Ferguson, MU resmi akan mengadakan tur pramusim di Indonesia.

Sayangnya, kunjungan MU harus dibatalkan dua hari sebelum hari H karena hotel tempat mereka bermalam, Ritz-Carlton, diguncang ledakan bom hebat yang menewaskan sembilan orang dan menyebabkan beberapa orang cedera.

Alhasil, manajemen MU memutuskan untuk tidak mengaspalkan pesawat mereka di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Padahal, para pendukung Setan Merah sudah bersiap untuk memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).

Biaya mahal

Direktur Mahaka Sports Hasani Abdul Gani mengungkapkan, dana yang sangat besar untuk mendatangkan klub elite ke Tanah Air merupakan alasan utama. Ia menyatakan, minimnya promotor yang mau mendatangkan klub elite Eropa lebih karena hitungan bisnis.

Ini lebih ke masalah bisnis. Untuk mendatangkan dua tim besar tidak murah ongkosnya. Belajar dari kasus mendatangkan Liverpool beberapa waktu lalu, harga klub premium Liga Inggris di kisaran 1,5 juta-2 juta dolar Amerika (sekitar Rp 20 miliar).

"Itu belum termasuk hotel dan pengamanannya. Kalau hitungannya balik modal dari pertandingan tersebut, sepertinya sulit," ujar dia kepada Republika.

Untuk bisa mengatasi hal ini, kata dia, diperlukan keterlibatan pemerintah. Secara khusus, dia melihat intervensi Kementerian Pariwisata sangatlah sentral. Karena sebenarnya banyak keuntungan mendatangkan satu klub elite atau bahkan laga duel antara klub elite di Tanah Air.

"Apabila di lihat dari impact yang lebih luas, bagus buat public relation (PR) negara atau country brand," kata dia.

photo
Suporter Persib Bandung memadati stadion sebelum pertandingan persahabatan melawan DC United dalam rangka DC United Indonesia Tour 2013 di Stadion Jalak Harupat, Bandung, Jabar, Jumat (6/12).

Beberapa waktu lalu, Hasani dengan bendera Mahaka Sports and Entertainment pernah mendatangkan klub elite Amerika Serikat, DC United. Dia mengatakan, banyak pelajaran dari pengalaman tersebut.

"Ongkosnya mahal, maka harus dipikirkan bagaimana mencari jalan supaya modal kembali. Selain ongkos mendatangkan klub mahal, biaya keamanan di kita juga tergolong mahal," ujar dia.

Pengamat sepak bola yang juga Ketua Save Our Soccer Akmal Marhali menilai klub elite Eropa melihat Asia sebagai pasar potensial mereka. Menurut dia, Singapura dipilih karena negera ini salah satu jantung Asia, plus punya banyak kemudahan bagi promotor setempat untuk mendatangkan klub-klub Eropa.

'Untuk itu, Indonesia perlu ada kebijakan kemudahan dari pihak terkait agar promotor bisa dipermudah mendatangkan klub luar negeri, dari pemerintah (kemudahan pajak, imigrasi, dan lainnya), dari federasi (perizinan yang diperingan)," kata Akmal kepada //Republika.

Ketua fan Bayern Muenchen Indonesia Muhammad Rinaldi juga menyoroti masalah birokrasi di balik sulitnya mendatangkan klub elite Eropa. Menurut dia, para penyelenggara sering melontarkan keluhan. Misalnya, ketika klub Italia, AS Roma, ke Indonesia pada 2015 silam.

Ketika itu, salah satu pemain Roma, Gervinho, yang merupakan pemain berkebangsaan Pantai Gading, tidak bisa masuk karena visanya ditolak. Ini membuat pihak Roma kecewa. Belum lagi, kata dia, banyak klub yang mengeluh karena kebijakan panitia untuk membuat sesi latihan menjadi berbayar.

Kebijakan negara juga menjadi faktor penting. Sebagai fan, hanya perlu pertahankan eksistensi sembari berharap peningkatan fasilitas, penyelenggaraan yang lebih profesional dari panitia, dan kebijakan pemerintah. "Tentu jadi kesempatan langka untuk dapat menonton langsung tanpa harus pergi ke luar negeri," ujar Rinaldi. (anggoro pramudya/fitrianto, ed: gilang akbar prambadi)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement