Jumat 27 Nov 2020 00:12 WIB

Maradona, Teman Fidel Castro dan Pemimpin Revolusioner Latin

Castro dianggap sebagai ayah kedua serta tokoh yang wajahnya menghiasi kaki Maradona.

 Mantan Presiden Kuba Fidel Castro (kanan) bertemu legenda sepak bola Argentina Diego Maradona.
Foto: AIN/Ismael Francisco via AP
Mantan Presiden Kuba Fidel Castro (kanan) bertemu legenda sepak bola Argentina Diego Maradona.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu hari, legenda sepak bola Argentina Diego Maradona pernah mengatakan bahwa mendiang pemimpin revolusioner Kuba Fidel Castro pernah mendesak dia agar terjun ke dunia politik. Castro dianggap sebagai ayah kedua serta tokoh yang wajahnya menghiasi kaki Maradona.

Maradona, yang meninggal dunia pada usia 60 tahun, tidak pernah memenuhi permintaan itu. Namun dia berperan dalam mendukung perjuangan para pemimpin revolusioner di Amerika Latin. Sebut saja Castro, Hugo Chavez dari Venezuala, dan Evo Morales dari Bolivia. Dia dengan senang hati membantu menyebarkan perjuangan mereka ke seluruh dunia melalui sepak bola.

Baca Juga

“Apa pun yang dilakukan Fidel dan Chavez, menurut saya adalah hal yang terbaik (yang pernah dilakukan),” kata Maradona dalam wawancara di sebuah acara televisi pada 2007 silam.

Putra dari buruh pabrik yang tumbuh di sebuah kota kumuh di pinggiran Buenos Aires itu pertama kali bertemu Castro pada 1987 atau setahun selepas membawa Argentina menjuarai Piala Dunia.

Pertemuan itu lama-lama tumbuh menjadi ikatan persahabatan pada awal mula ketika Maradona menghabiskan empat tahun di Havana untuk mengobati kecanduannya terhadap obat-obatan.

“Berawal dari awal yang sederhana, Castro adalah idolanya, dia jatuh cinta (dengan Castro). Lalu datanglah Chavez, Moralez dan lainnya,” kata Alfredo Tedeshi, seorang produser TV Argentina yang juga teman karib Maradona selama di Havana, seperti dikutip Reuters, Kamis (26/11).

Tedeschi mengenang saat Maradona mengetuk pintu rumahnya dan mengusulkan untuk melakukan kunjungan ke Castro. Pemimpin Kuba menerima kunjungan itu hingga menghabiskan waktu tiga jam berbincang bersama mereka, termasuk bermain sepak bola di kantornya.

“Mereka akan selalu berbicara tentang politik. Diego sangat tertarik dengan politik,” ujar Tedeshi yang juga mengatakan bahwa Castro juga akan melakukan kunjungan spontan ke rumahnya di Havana.

Pada 2005, Mardona mewawancarai Castro di sebuah acara televisi Argentina. Ia bertanya bagaimana George W. Bush bisa kembali terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Castro menanggapi, “Penipuan. Mafia teroris Miami!”

Sejak saat itu, Maradona menjadi alat propaganda bagi para pemimpin sayap kiri di Amerika Latin, kata Tedeshi.

“Diego adalah tipe orang yang apa pun dia katakan pasti berdampak. Dan Fidel menyambut baik propaganda semacam itu.”

Persahabatan antara pesepak bola dan pemimpin revolusi itu berjalan cukup lama hingga Castro mengembuskan napas terakhirnya pada 25 November 2016. Secara tak terduga, Maradona menyusul idolanya tepat pada tanggal yang sama empat tahun berselang.

“Kedua tanggal ini saling berkaitan dan akan berlangsung sepanjang sejarah: dua orang hebat, satu di sepak bola sedangkan satu lainnya dari revolusi Kuba,” kata mantan pesepak bola Luis Perez.

Kepergian Maradona menjadi duka mendalam tidak hanya bagi dunia sepak bola, tetapi juga bagi para pejuang revolusi di seluruh Amerika Latin.

Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez menyampaikan belasungkawanya. Menurut dia, Maradona telah berjasa karena berani menyuarakan dukungannya kepada Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, dalam menghadapi sanksi AS.

“Turut berduka. Saya tahu Diego Armando Maradona adalah seseorang yang berjuang untuk orang miskin. Pemain sepak bola terbaik di dunia,” tulis Morales.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement