REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam narasinya, legenda Manchester United (MU) Roy Keane menyatakan, pada era kejayaan timnya, setiap klub lawan yang akan berhadapan acapkali menyerah lebih dulu sebelum bertarung di atas lapangan hijau. Fragmen Keane dalam kepingan olahraga lain tentu cocok disematkan kepada Rafael Nadal, salah satu petenis legendaris di jagat ini.
Nadal merupakan atlet tenis yang disegani para lawan. Respek itu kian berlebih ketika petenis kelahiran Manacor, Mallorca, Spanyol, sebuah pulau di kepulauan Balears yang berjarak sekitar 200 kilometer sebelah selatan Barcelona, bertarung di ajang Prancis Terbuka alias satu-satunya Grand Slam yang digelar di atas lapangan tanah liat.
Legasi Nadal berlanjut saat ia menjuarai Prancis Terbuka 2022 selepas menaklukkan rivalnya Casper Ruud dari Norwegia di babak final dengan skor telak, 6-3, 6-3, dan 6-0 di Philippe-Chatrier, Paris, Ahad (5/6).
Ini menjadi kemenangan heroik khususnya bagi petenis kidal tersebut. Nadal memenangkan gelar Prancis Terbuka ke-14 sekaligus menasbihkan Grand Slam ke-22 sepanjang kariernya. Titel yang semakin menjauhkannya dari duo petenis veteran lainnya, Novak Djokovic dan Roger Federer, yang sama-sama mengumpulkan 20 gelar.
Kebahagiaan Rafael Nadal pun semakin membuncah karena masih bisa memenangkan trofi bergengsi di usia 36 tahun.
"Sangat sulit mendeskripsikan perasaan saya, ini sesuatu yang sulit dipercaya," kata Nadal dilansir ATP.
Mengacu pada dominasi gelar ke-14 itu pun terasa spesial baginya karena didapat dengan penuh perjuangan, apalagi di tengah kondisi kebugaran yang terus menerus menurun. Ia seakan memang naik turun bersama olahraga ini, 'roller coaster' emosi, euforia, kesedihan, dan ekspektasi yang tak pernah terlupakan semenjak ia memenangkan panggung Prancis Terbuka pada 2005 silam.
"Bisa berada di sini, ketika berusia 36 tahun, dan bermain kompetitif lagi, sangat penting bagi karier saya," sambung Nadal.
Kejayaan Nadal di lapangan tanah liat dimulai pada tahun 2005 saat menjuarai Prancis Terbuka 2005 atau gelar perdananya di lapangan tanah liat. Kesabaran menjadi salah satu kuncinya menguasai lapangan tanah liat.
Pasalnya, banyak petenis legendaris mengakui, lapangan tanah liat membutuhkan waktu lebih lama untuk dikuasai daripada lapangan rumput pun beton. Nadal adalah seorang petarung sejati, sejak sebelum memasuki lapangan pun ia sudah memulai pertarungan di dalam benaknya.
Tanpa mengurangi rasa hormat, sejatinya di lapangan mana pun Nadal selalu mengantongi ambisi yang sama. Namun, di permukaan tanah liat, khususnya ketika turnamen Roland Garros digelar saat musim panas, kekuatannya seakan berlipat ganda.
Andy Murray atau petenis tersohor asal Valencia Juan Carlos Ferrero berbondong untuk berlatih di atas permukaan tanah liat di Barcelona. Sedangkan Nadal bersyukur karena tanah kelahiran, Mallorca, dan juga pelatihnya terdahulu, Toni Nadal, membentuknya menjadi petenis terhebat sepanjang sejarah.
Pasang dan surut. Nadal boleh jadi punya atribut paripurna ketika berlaga di lapangan tanah liat. Tetapi, ia tetap bisa dikalahkan ketika tersungkur dari petenis gurem Igor Andreev di Valencia Terbuka 2005 dan kalah di dua edisi Roland Garros medio 2009 melawan Robin Soderling pun final 2015 versus Djokovic.
Terlepas dari persoalan itu, secara teknis, semua sepakat bahwa Nadal sangat sah dilabeli seorang raja di lapangan tanah liat. Sejauh ini total Nadal mengantongi 59 gelar mayor sepanjang kariernya, yakni 22 koleksi Grand Slam, satu Olimpiade, dan 36 ATP Masters 1000. Capaian itu berada di posisi kedua di bawah Djokovic yang meraih 63 gelar mayor. Sedangkan Federer menyusul dengan koleksi 54 trofi.