Rabu 18 Jan 2023 21:57 WIB

Sosiolog Dorong Pembentukan Komite Suporter Saat KLB PSSI

Komite Suporter dinilai sebagai jawaban dari berbagai persoalan.

Sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang Dr. Wahyudi Winarjo
Foto: istimewa
Sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang Dr. Wahyudi Winarjo

REPUBLIKA.CO.ID,MALANG - Sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang Dr. Wahyudi Winarjo mendorong perubahan Statuta dalam Kongres Luar Biasa PSSI. Ia mendorong agar ada penambahan satu lagi komite dalam tubuh PSSI yang khusus menangani suporter. 

Hal itu dikatakan Dr. Wahyudi Winarjo saat memberikan paparan seminar nasional bertajuk, “Revolusi Infrastruktur dan Mitigasi Konflik: Pembenahan Total Stadion, Kerusuhan Suporter dan Mafia Bola” yang dilaksanakan di Hotel Ascent Premiere Malang, dalam keterangan  pers yang diterima, Rabu (18/01/2023).

Baca Juga

Menurutnya, Komite Suporter dinilai sebagai jawaban dari berbagai persoalan yang kerap menghiasi wajah sepak bola tanah air. Sebab, selama ini keberadaan suporter tidak mendapatkan perhatian serius dari federasi sepak bola nasional. 

“Saya kira perlu ada komite suporter dalam statuta PSSI dan itu mereka sangat fungsional terhadap realita sepak bola di Indonesia, yang masih ada kecenderungan-kecenderungan para pihak tertentu atau free rider membonceng dalam even atau momen sepak bola,” kata Dr. Wahyudi 

Dr. Wahyudi menilai rivalitas antar suporter sepak bola di Indonesia tidak bisa dihindarkan, karena hal tersebut sudah mengakar ke lapisan masyarakat pecinta sepak bola. Namun, PSSI selaku organisasi induk sepak bola Indonesia perlu memberikan perhatian serius, agar rivalitas yang negatif mampu dikelola dengan baik dan berubah menjadi positif, yakni mendukung klub favorit tanpa ada aksi anarkis.

“Jadi sekali lagi revalitas tidak bisa dihindari, tetapi saya kira kalau ada pic yang bertanggung jawab untuk membangun revalitas menjadi sehat dan profesional, saya kira itu akan lebih baik,” ucapnya.

Menurut Dr. Wahyudi, ke depan PSSI perlu merangkul para akademisi agar edukasi atau arahan yang disampaikan kepada kelompok-kelompok suporter mampu dipahami dan diterapkan di tengah-tengah mereka. 

“Dan mereka adalah orang yang mengerti tentang sosiologi masa, tentang psikologi masa termasuk juga tentang bagaimana dia bisa mendorong, sekaligus mengendalikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh suporter dari masing-masing klub sepak bola yang ada di Indonesia,” ujarnya.

“Diantara rivalitas yang kita lihat dari perspektif sosiologi sebenarnya adalah ketidakmampuan pengendalian diri dari para fans club atau suporter, atas pemikiran-pemikiran, atas ajakan provokasi yang sebetulnya itu menjerumuskan antar suporter,” tambahnya.

Lanjut Dr. Wahyudi, ajakan-ajakan provokasi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum suporter ini menjadikan rivalitas yang tadinya positif berubah menjadi negatif, hingga terjadi aksi-aksi anarkis. Padahal, rivalitas dalam sepak bola adalah hal yang wajar seperti yang ditunjukkan oleh suporter bola di Eropa. 

“Sehingga menjadi rivalitasnya itu tidak sehat, realitas tetap akan ada selamanya, tetapi saya kira rivalitasi itu bisa dibungkus dengan cara-cara yang sehat yang profesional yang tidak mencederai, tidak memusuhi satu dengan yang lain. Di dalam sepak bola itu yang akan meningkatkan adalah semangat, spirit dan motivasi penonton atau kita semua datang menonton untuk menikmati sepak bola,” jelasnya.

Atas dasar itu, Dr. Wahyudi menuturkan, kehadiran FAPSI untuk mendorong dilakukan perubahan atau perbaikan terhadap PSSI sebagai federasi sepak bola Indonesia. Pasalnya, FAPSI yang dihuni oleh para akademisi dengan keilmuan masing-masing mampu melihat masalah dengan rasional tanpa ada kepentingan-kepentingan lain, selain untuk perbaikan yang lebih baik.

“Saya kira akademisi bisa menjadi salah satu instrumen atau menjadi alat dari persepakbolaan nasional, untuk melakukan kontrol sosial dan saya kira bisa melalui desiminasi pemikiran atau gagasan persepakbolaan nasional yang sehat, yang sportif dan semuanya saya kira basisnya adalah nasionalisme,” ungkapnya. 

“Tidak boleh saya kira sepak bola itu kemudian mencederai nasionalisme yang harus kita kawal yang harus kita kembangkan menjadi jati diri bangsa Indonesia kita adalah bangsa yang ber pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan kita harus bangun masyarakat Indonesia ini dengan damai dengan hormoni dengan penuh kasih sayang,” tandasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement