REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan ribu orang berkumpul di Gereja Santa Maria, Coriano, Italia, 27 Oktober 2011. Kala itu, langit seolah menangis. Hujan gerimis yang mengguyur salah satu gereja tertua di Coriano itu tidak menghalangi kehadiran orang-orang tersebut, yang sebagian besar diketahui penggemar MotoGP lewat jaket dan atribut yang mereka kenakan.
Berdasarkan laporan media setempat, 20 ribu orang hadir dalam kegiatan tersebut. Jaket atau topi yang menampilkan angka ''46'' dan ''58'' seolah menjadi pemandangan umum dalam acara tersebut. Mereka dengan sabar mengantre dan menunggu giliran untuk masuk ke ruang utama gereja.
Sebuah peti mati terlihat tepat di bagian depan altar. Dua motor berada di bagian atas panggung, yang berada di belakang peti mati tersebut. Ini merupakan penghormatan terakhir untuk Marco Simoncelli.
Pembalap asal Italia yang tutup usia dalam umur yang relatif muda, 24 tahun. Dua hari sebelum acara di Gereja Santa Maria tersebut, Simoncelli meregang nyawa di Sirkuit Sepang, Malaysia. Pembalap Honda Gresini itu mengalami kecelakaan tragis saat memasuki lap kedua sesi balapan GP Malaysia. Kehilangan traksi saat memasuki tikungan ke-15, Simoncelli terjatuh.
Nahas, Simoncelli justru bergerak ke tengah trek. Colin Edwards dan Valentino Rossi tidak bisa berbuat banyak dan akhirnya menabrak Simoncelli. Setelah mendapatkan perawatan medis, Simoncelli dinyatakan tewas lantaran mengalami cedera dada, leher, dan kepala. Kematian pembalap berjuluk ''Super Sic'' itu terasa begitu mengejutkan.
Italia, bahkan dunia balap, kehilangan salah satu pembalap muda yang penuh potensi. Kesedihan tidak hanya terasa buat para penggemar Simoncelli, tapi juga buat para penggemar Valentino Rossi, yang mengenakan nomor "46" selama karier balapnya di MotoGP.
Karena itu, tidak mengherankan apabila di acara penghormatan terakhir buat Simoncelli juga dipenuhi oleh para pendukung pembalap berjuluk The Doctor tersebut. Kecintaan pendukung Rossi terhadap Simoncelli, yang memakai nomor "58" sebagai nomor balapnya, bukan lantaran kedua pembalap itu sama-sama berasal dari Italia.
Kemunculan Simoncelli di pentas MotoGP sedikit banyak mengingatkan publik saat Rossi mulai menggebrak kejuaraan balap motor paling bergengsi sejagat tersebut. Tidak hanya soal gaya balapan, persona, karakter, pembawaan, komentar yang lugas dan cenderung ceplas-ceplos yang ditunjukkan Simoncelli begitu mirip dengan Rossi pada awal kemunculannya.
Dalam sebuah wawancara dengan mantan pembalap sekaligus kolumnis di majalah Motorsport, Matt Oxley, Simoncelli pernah berujar, di pentas MotoGP setidaknya ada dua tipe pembalap, gaya lama dan gaya baru.
Pembalap-pembalap gaya lama cenderung lebih mementingkan performa motor dan keberanian mengambil risiko. Sementara pembalap gaya baru lebih mementingkan data statistik yang ditunjukkan oleh tim mekanik dan insiyur mesin.
''Ada pembalap gaya lama, seperti saya, Rossi, Colin Edward, Loris Capirossi. Kemudian, ada pembalap lain dengan gaya berbeda, seperti Jorge Lorenzo, Andrea Dovizioso, Casey Stoner, dan Dani Pedrosa. Bagi saya, cara terbaik untuk balapan adalah gaya lama. Saya tidak suka gaya baru,'' kata Simoncelli seusai GP Inggris, 2011 silam.
Dalam ulasannya, Oxley pun begitu tepat menggambarkan gaya balapan Simoncelli. Menurut Oxley, Simoncelli selayaknya gladiator yang siap berperang di arena. ''Dia hanya akan berpikir untuk mengejar pembalap di depannya, tanpa memedulikan catatan waktu yang ditunjukkan di pinggir lintasan dan kalkulasi yang telah dilakukan oleh mekanik,'' tulis Oxley.